Thursday, August 27, 2009

Kegilaan Virtual: Perayaan Multi-Identitas

Dida Ibrahim

April 2009



...Of this virtual insanity, we're livin in. Has got to change...(yeah)...Things, will never be the same. And I can't go on While we're livin' in (oh)...(oh) virtual insanity (Oh)...this world, has got to change Cos I just, I just can't keep going on, it was virtual. Virtual insanity that we're livin' in, that we're livin' in That virtual insanity is what it is....” (Jamiroquai: Virtual Insanity, 1996)


Fenomena teknologi digital saat ini telah memasuki tahap yang sangat signifikan berpengaruh di lingkungan masyarakat Indonesia. Dalam analisis Alvin Toffler, setiap jenis teknologi melahirkan lingkungan teknologi (teknosfer) yang khas. Teknologi informasi, sebagai bagian dari teknosfer akan mewarnai budaya pertukaran informasi di antara warga masyarakat (infosfer). Pada giliranya, infosfer akan membentuk dan merubah norma-norma sosial, pola interaksi, dan organisasi kemasyarakatan (sosiosfer). Sebagai makhluk sosial, perubahan sosiosfer pada manusia akan terlihat pada perubahan cara berfikir, cara merasa, dan cara berperilaku (psikosfer). Dalam perubahan persepsi oleh media (dissolution) yang riil dan yang imajiner terus menerus melebur satu sama lain, ‘melampaui realitas’ (hyperealism).


Pada pandangan Idi Subandy dalam membaca studi komunikasi Fiske; “secondary representations of reality; they affect and produce the reality that they mediate” (viii:1990). Di dalam ‘realitas kedua’ itu manusia hidup dalam gelimang citra, bahkan antara citra dan tatanan pengalaman pun sudah tidak ada lagi perbedaanya. Sebagai bagian dari wacana komunikasi, pemaknaan citra menjadi premis yang sangat mendasar. Citra menekankan pada konsep-konsep representasi dan persepsi. Perlahan-lahan kita dihadapkan pada kenyataan bahwa isi media tersebut mempengaruhi struktur kognitif dan afektif kita.


Melalui kedua pandangan Tovler dan Idi Subandy, penemuan teknologi baru (dalam hal ini sistem digital) tidak hanya merubah cara berkomunikasi, faktanya teknologi tersebut telah menciptakan konsep-konsep budaya baru yang menggantikan budaya-budaya lokal (etnocide), mengajarkan agama baru, teknokrasi, mekanisasi, birokrasi, dan globalisasi. Puncaknya, dia telah menciptakan realitas-realitas baru (paralel), peran-peran serta identitas yang bisa kita pilih secara acak (multitasking dan memasilitasi alter ego).


Penemuan komputer dan perangkat sistem yang ada di dalamnya telah membawa manusia pada kesadaran baru, kesadaran tanpa batas, apapun bisa dilakukan melalui media ini. Kesadaran ini tentunya membawa manusia pada perubahan yang sangat drastis, terkadang problematis dan polemik. Perubahan ini tidak hanya membawa perubahan pada dunia sains dan teknologi, peristiwa ini berpengaruh pula pada setiap substansi sosial dan budaya manusia secara menyeluruh, mulai dari pola pikir sampai gaya hidup.

Kemampuan teknologi ini bersama konsep AI (Artificial intelligent)-nya telah membawa kita untuk menelaah kembali pemaknaan ‘realitas’. Pemaknaan realitas saat ini telah dibiaskan oleh/ melalui media, realitas artifisial telah mematerialkan ranah imaji. Pada titik tertentu realitas dikonstruksi sedemikian rupa menjadi bentuk realitas virtual (virtual reality), ranah ke-aku-an dikomodifikasi menjadi citraan identitas, karakter, lingkungan, budaya, dan konvensi sosial yang lain.


Meskipun memiliki fakta fisik yang berbeda, cyberspace merupakan bahasa lain dari realitas virtual yang dikenalkan oleh Myron Krueger. Cyberspace dalam hal ini merupakan fenomena non-material, tidak memiliki sifat-sifat fisikal, akan tetapi ia adalah ruang yang ‘ada’, kita bisa ‘hadir’, merasakan dan mengalami kehidupan yang ada di dalamnya. Ruang dalam konsep cyberspace diciptakan melalui sistem eletrik dan sistem kode matematika biner Hoofman (konsep dasar yang membangun sistem digital).


“Cybernetic...sebuah wilayah yang berada di dalam ranah pemikiran kontemporer mengenai teknologi komputer dan kemasyarakatan”. (Katie Salen & eric Zimmerman: 2004)


Cyberspace merupakan dunia yang hypereal yang terbentuk dari realitas virtual, sebuah ‘ruang halusinasi’ yang tercipta dari sistem data di dalam komputer yang saling tersambung di dalam sebuah jaringan berskala global. Ia adalah sebuah dunia yang tidak faktual, akan tetapi mendekati dunia nyata (aktual).


Dalam cyberspace, setiap orang merupakan persona yang memiliki perasaan menavigasi atau berkuasa (sense of power), membebaskan manusia dari segala macam kungkungan kekuasaan dan otoritas, memiliki kebebasan yang cukup besar dalam mengekspresikan dirinya secara maksimal. Cyberspace menyediakan ruang yang di dalamnya memiliki orientasi ekspresi secara bebas, tanpa dibatasi dan dikendalikan oleh otoritas kekuasaan ‘apapun’.


Realitas dalam dunia digital membiaskan perbedaan antara objek representasi dan realitasnya. Sistem interaktifitas mencairkan dan menggantikan pengalaman dunia realitas yang nyata dengan pengalaman virtual, keterlibatan penggunanya secara tidak sadar menyatukan batas dan jarak dua realitas tersebut, pada ujungnya, tidak ada lagi batas antara yang nyata dan tak nyata. Dunia virtual dianggap telah memiliki realitas dan sistem budayanya sendiri, yang dipresentasikan melalui citraan grafis (graphic image), citra optikal (optical image), citra perseptual (perceptual image), citra mental (mental image), citra verbal (verbal image). Citraan yang ‘terbingkai’ ini menjadikan dia memiliki realitasnya sendiri.


Entitas yang berada di dalamnya tak hanya sebatas citraan simbolis. Pembentukan peran dalam dunia virtual membawa kita dalam pemahaman yang lebih luas. Di dalamnya terkonstruksi satu konsep budaya yang overlap antara dunia artifisial dengan ruang fisik, serta gaya hidup para pemainya, mengaburkan realitas wilayah pengguna dan non-pengguna, terkadang bisa ‘menarik’ budaya partisipan penggunanya. Yang menjadi poin penting di sini adalah, dunia digital telah mengangkat pertanyaan yang fundamental mengenai dunia artifisial dan hubunganya dengan realitas.


Dalam dialog Morpheus (M) dan Neo (N) dalam film The Matrix I (1999) terungkap pemahaman lain tentang makna ‘realitas’.


M : These is the construct. It’s our loading program. We can load anything, from clothing, equipment, weapons, training simulation, anything we need.

N : Right now we’re inside the computer program?

M : Is it really so hard to belive? Your cloth are different. The plugs in your arms and head are gone. Your hear’s change. Your appearance now is what we call ‘Residual Self Images’... is the mental projection of digital self.

N : These...isn’t real?

M : What is ‘real’? How do you define ‘real’? If you talking about what you can feel...what you can smell...what you can taste and see. Than real is simply an electrical signal that interpreted by your brain.

….

M : What exist now’s only part of the world of neural interactive simulation... that we call the matrix.

Penginterpretasian radikal dalam film tersebut tentang realitas telah memberi batasan dan keterangan yang sangat jelas berkenaan dengan kemampuan realitas simulasi dalam menyihir persepsi manusia. Manusia seperti terjebak dalam kesadaran mati-rasa fisis (anesthesia awarness).


Dalam bentuk representasi simulasi, realitas direproduksi, dikonstruksi, dimanipulasi, sehingga melahirkan realitas yang baru. Dalam persoalan ini Yasraf A. Piliang menyebutnya sebagai satu bentuk proses penciptaan model-model realitas yang tanpa asal-usul, realitas yang hadir bukan lagi representasi realitas sebenarnya, sudah menjadi realitas yang baru yang referensinya adalah realitasnya sendiri (simulakrum of simulakrum). Simulakra diartikan sebagai; (1) sesuatu yang tampak atau dibuat tampak seperti sesuatu yang lain, (2) salinan (copy).


Ideologi yang berkembang dalam dunia virtual mentransformasi individu menjadi subjek dengan menawarkan mereka pada posisi. Melalui ruang budaya yang dihadirkan dalam frame layar, setiap individu dapat mengaitkan kehidupan mereka dengan kondisi eksistensinya dalam realitas kehidupan sebagai presentasi sublimasi yang bersifat referensional. Dia menjadi instrumen makna dan ide, memberi posisi dan mereproduksi pemaknaan individu atas realitas sosialnya sebagai pernyataan sikap partisipasi.


Realitas artifisial, realitas virtual, realitas simulasi, maupun cyberspace memiliki konsep yang sama, dia tidak faktual tapi aktual. Dia tidak memiliki ruang fisik yang kita pahami di dalam hukum fisika, tapi dia adalah ruang yang ada dan memberi tempat bagi kita untuk berada di dalamnya. Hal ini merupakan poin yang sangat penting dalam menyaksikan adanya ketergeseran bentuk-bentuk dan pola sosial yang kita kenali selama ini.


Keberadaan realitas-realitas ini telah memberikan ruang kepada setiap penggunanya untuk berperan sebagai ‘sang lain’, mendapatkan relasi dan penyapaian-penyapaian sosial yang tidak dia dapatkan di dalam realitasnya. Dari pernyataan ini kita bisa melihat satu alasan ketertarikan setiap penggunanya untuk terus masuk ke dalam realitas artifisial tersebut, memenuhi hasrat yang tidak terpenuhi di dalam realitasnya. Memaknai kembali identitas, eksistensi, dan realitasnya.


Aturan dalam sebuah interaktifitas telah menghadirkan ruang formal yang sangat mendasar. Setiap proses interaktif menciptakan tiga jenis aturan: constituative, operational, dan implicit. Aturan constituative mengarah pada logika, struktur matematis yang membatasi setiap ruang komunikasi. Aturan operasional lebih praksis, ‘rules of play’ yang langsung ditujukan pada aksi patisipasi. Aturan implicit merupakan aturan yang tidak tertulis yang membawa para pengguna pada alur interaktifnya, hal ini hadir dari pemaknaan ‘rules of play’ sebagai bagian dari sistem persepsi dan asumsi manusia.


Dunia digital seolah menyediakan tubuh representatif terhadap ranah ke-aku-an. Secara visual, penokohan peran dibentuk sebagai sosok yang bergelimang citraan, sesuai dengan peranannya dalam cerita yang terbangun di dalamnya. Ranah ke-aku-an dikonstruksi sebagai karakter yang terbangun dalam realitas simulasi. Peran yang hadir dalam dunia digital telah membuka ruang-ruang hasrat menjadi sang lain (alter ego) di luar realitas dirinya (persona). Eksistensinya dipresentasikan melalui persepsi citra tubuh. Tubuh representatif dalam game digital mengidentifikasi siapa aku (persona).


tubuh adalah diri, dan diri adalah tubuh” (Anthony Synnott: 49, 1993)


Dalam konstruksi pemikiran Lacan mengenai psikoanalisis, Aku (sebagai sebuah identitas) dan realitas merupakan dua konsep yang terpisah, karena yang real bagi aku adalah sebuah hasrat, hasrat untuk ‘me-‘ (me-nguasai, me-njadi, me-miliki). Memikirkan yang real berarti berhadapan dengan misteri eksistensi itu sendiri (Lucky Ginanjar Adhipurna: 123, 2006). Ketika hasrat disadari sebagai hal yang terkait dengan eksistensi, maka ‘aku’ akan menjadi satu entitas yang real.

No comments:

Post a Comment