Friday, June 4, 2010

Seni(Rupa) Setelah Picasso

Memahami karya seni saat ini memang agak sedikit rumit. Sampai saat ini-pun dalam beberapa sumber, definisi seni yang muncul belum bisa menerangkannya secara utuh, khususnya untuk pemahaman seni di Indonesia, terkait dengan rujukannya dengan seni tradisi. Untuk memahaminya diperlukan beberapa rujukan, tidak hanya mengacu pada satu definisi saja. Itu-pun bisa yakinkan hanya akan menerangkan pada jenis atau kategori tertentu saja, tidak akan menjadi sebuah kesimpulan.


Dalam sebuah diskusi kecil yang sempat saya ikuti terakhir bersama dengan beberapa seniman dan kurator di Bandung, ada sebuah pembicaraan yang mengarah ke sana, salah satu yang diutarakan adalah, seni sebagai sebuah kata merupakan hasil dari perjanjian (konsensus) nasionalisme dari pergerakan sumpah pemuda. Kemungkinan besar merujuk pada kata arts dalam bahasa Inggris. Kemungkinan ini tentunya juga mengarah pada objek seni yang berkembang di Barat, termasuk ranah pemikirannya. Persoalan ini kemudian menjadi bias ketika merujuk pada konsep seni yang lebih lokal, dalam hal ini seni tradisi yang notabene sudah berkembang sejak lama.


Dari sisi etimologi, kata art sendiri berasal dari bahasa latin ars yang diartikan secara bebas sebagai ‘pengaturan’ (arrangement) atau ‘untuk mengatur’ (to arrange). Disinyalir kata ini merupakan satu-satunya kata yang bisa lebih universal menandainya, yang mengacu pada artefak dan proses (artificial). Untuk seni rupa sendiri lebih banyak menggunakan rujukan kata arts atau visual arts.


Dalam sejarahnya, sebelum kata seni ditemukan, apa yang disebut ‘seni’ itu sendiri merujuk pada bentuk-bentuk seni tradisi milik umum (seni rakyat) yang kemudian berkembang menjadi seni bebas (liberal art) yang lebih individual dan terus berkembang sampai saat ini digunakan oleh pelaku seni di dunia.


Fine Arts sendiri mulai ditandai pada masa Renaissance abad ke-16 di Italia yang merupakan sebuah upaya menggali kembali kebudayaan barat (Yunani kuno, 500 sm.) yang macet pada abad pertengahan (abad kegelapan). Penandaaan fine art pada masa Renaissance ini dilakukan melalui premis-premis (dasar pemikiran) filsuf yunani Plato (500 sm.) tentang keindahan yang metafisis, dan keindahan fisis yang bersifat sensual. Kemudian pada abad ke-18 dan 19 pemikiran Plato ini ditafsirkan kembali oleh Hegel, Schopenhauer, Immanuel Kant, dan Max Scheler sebagai hierarki keindahan. Pada hierarki ini keindahan religius menempati urutan paling atas, kedua adalah keindahan spiritual, selanjutnya keindahan Vital (gaya hidup). Pada abad ke-18 tradisi itu meluas ke Eropa Utara dari Italia, dan kemudian mengalami pelebaran (‘internasionalisasi’) ke berbagai daratan Eropa. Gencarnya ‘kolonisasi’ yang dilancarkan oleh sebagian negara-negara di Eropa menjadikan premis-premis ini menyebar di luar daratan Eropa, termasuk Indonesia. Seiring dengan modernisasi pada abad 19 dan 20, tradisi tersebut melahirkan seni rupa modern dan semakin meluas perkembangannya.


Seni dan Pendidikan Seni

Uraian berikut diambil dari skripsi saya (2005) yang secara khusus dan kurang lebihnya membuka segala persoalan yang sampai saat ini masih menjadi tantangan berat bagi seni rupa dari sisi pendidikan publik. Yang selanjutnya, kajian ini menjadi alasan utama tulisan ini sebagai pengantar kuratorial pameran.


Pendidikan sesungguhnya adalah ujung tombak komunikasi seni dengan masyarakat. Melalui pendidikan, proses persentuhan juga pemahaman tentang seni dimulai. Secara sederhana, wilayah ini terbagi dua subjek kajian. Pertama, tentang seni sebagai metoda pendidikan. Kedua, pendidikan tentang seni.


Apakah pengaruh berbagai perkembangan pesat pada dekade terakhir bagi institusi pendidikan tinggi seni? Sebaliknya, apakah pengaruh kebijakan-kebijakan pendidikan pada perkembangan seni rupa? Mengingat berbagai keterbatasan dalam dunia seni kita, bagaimana mencari pola sinergis antara aktifitas seni rupa dengan pendidikannya? Apa yang membuat proses regenerasi terlihat tersendat-sendat? Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah beberapa pokok masalah yang hendak dikaji. Masalah lain adalah para pekerja seni sering terlihat belum punya visi tentang edukasi, sehingga aktifitas-aktifitas dan persentuhannya tidak langsung menunjang kebutuhan regenerasi.


Apa yang dibaca, dipelajari, dilatih oleh para senimannya, seharusnya juga dibaca dan dipelajari oleh masyarakat seni-nya” (Jakob Soemardjo, 2000:210). Hal ini menjelaskan bahwa seorang seniman dalam berkarya, memiliki tujuan mengkomunikasikan apa-apa yang telah dibaca, dipelajari, dan dilatihnya. Perihal seni tidak seperti bahasa yang bisa dicerna begitu saja. ‘Pendidikan’ menjadi hal penting dalam penginterpretasian sebuah karya seni.


Menurut Aristoteles seni memiliki kedudukan penting dalam kurikulum pendidikan umum. Dalam lingkungan pendidikan seni, kiranya telah menjadi teori klasik bahwa pendidikan seni rupa di sekolah umum bertujuan untuk mengembangkan aspek-aspek kejiwaan yang mencakup sensitivitas, kreativitas, dan ekspresi dalam rangka membentuk kepribadian harmonis.


Melalui pandangan Aristoteles tersebut, sebuah pendidikan seni menjadi suatu hal yang sangat kritis dalam pengembangan seni rupa selanjutnya. Seperti kita ketahui bahwa pendidikan merupakan awal dari perkembangan segala hal, termasuk seni. Mengutip uraian GBHN 1983 terdapat pernyataan: “Dalam pembinaan kesenian perlu dikembangkan tumbuhnya kreativitas yang mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia, serta menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan”.


Menurut Zakaria S. Soetedja, berdasarkan status kelembagaannya, pendidikan di Indonesia terbagi menjadi pendidikan formal dan pendidikan non formal. Pendidikan formal seni rupa dilakukan di sekolah-sekolah umum dan kejuruan khusus seni rupa. Sedang untuk pendidikan non formal dilakukan dalam kursus-kursus, pelatihan-pelatihan, dan sanggar-sangar seni rupa dengan pola dan konsep yang berbeda-beda.


Pada pendidikan formal menurut Muhajir Nadhiputro (1990) mengacu kepada pengajaran apresiasi, aspek ekspresi, dan aspek kreativitas. Pendidikan seni baik formal maupun non-formal sebenarnya mengacu pada hal yang sama, yang berbeda hanyalah pada ideologi dan tujuannya saja. Pendidikan formal berfungsi sebagai media aplikasi dan pengkajian pengetahuan kesenirupaan umum secara akademik dengan pola past, present dan future. Dan untuk keberdayaannya diperlukan SDM, sistem, dan sarana yang memadai.


Satu hal yang perlu dicatat, bahwa pendidikan menjadi kepentingan yang sangat esensial, karena dari sinilah semua berawal. Pendidikan seni akan menjadikan seni memiliki nilai. Baik nilai “murni” estetikanya, maupun nilai yang bersifat ekstrinsik berupa nilai-nilai kehidupan itu sendiri. Pendidikan itu bisa diperoleh secara formal di lembaga pendidikan maupun informal, yakni lewat kegiatan di masyarakat. Pendidikan menjadi modal awal bagi perkembangan dan terciptanya iklim penghargaan di masa depan.


Alter Media : Membaca Kembali Perjalanan Seni(Rupa) Paska Modern

Rumusan yang bisa dibaca dari beberapa pemikiran tentang seni rupa melahirkan rumusan penjelasan karakteristik seni sebagai sebuah aktivitas yang menuntut persepsi (cara pandang) kreatif baik dari sisi seniman dan pemirsanya (audience); bersifat misterius (elusive); secara terbuka memunculkan konsep dan pola komunikasi serta interpretasi dalam berbagi tingkatan pemahaman; kemampuan dan kepekaan (sense); sebagai bagian dari relasi entitas (keberadaan) antara kesadaran dan ketidaksadaran antara yang nyata dan ilusi; dibentuk sebagai sebuah gagasan dan bukan sebagai objek fungsional (praksis); dibuat untuk memberi pengalaman sebagai objek seni; dan merupakan sebuah pencarian beragam kemungkinan ‘keindahan’ dalam bentuk lain.


Wujud Seni(Rupa). Meskipun tidak ada garis yang menegaskannya, secara garis besar seni(rupa) terbagi ke dalam dua kategori utama, yakni seni murni (fine arts) yang bertujuan mengkomunikasikan gagasan dan rasa, di dalamnya tidak memiliki konsep fungsi pakai (daya guna), dan seni terapan (applied arts) yang menawarkan kepuasan keindahan, dekoratif, dan memiliki fungsi pakai. Keduanya diwujudkan dalam gagasan bentuk dua dimensi dan tiga dimensi dengan penggunaan karakter media yang berbeda-beda, disesuaikan dengan gagasan artistik yang ingin ditawarkan pada pemirsanya. Dalam beberapa karya seni murni, pemilihan media menjadi sangat penting, karena menjadi bagian dari media komunikasinya.


Ekspresi artistik dalam seni(rupa) terurai sebagai bagian dari respon segala fenomena dan paradigma sosial dan budaya, termasuk teknologi yang terjadi di dalam lingkungannya. Secara tidak langsung, hasil seni(rupa) merupakan artefak dari representasi/ perwujudan entitas (keberadaan) budaya manusia di dalam ruang dan waktu tertentu, baik dengan bentuknya yang representasional (masih bisa dikenali wujudnya) maupun non-representasional (abstrak).


Postmodern-Kontemporer-Avant Garde, ketiga kata ini sering sekali kita dengar, terutama di wilayah isu (wacana) seni ‘kekinian’ secara umum. Tentu akan menimbulkan menjadi pertanyaan, apa, bagaimana, dan seperti apa? Secara garis besar postmodern adalah sebuah gagasan pemikiran (premis) yang lebih menekankan pada keilmuan yang bersifat filsafat terhadap pencarian konsep-konsep baru setelah semangat modernisme yang dicanangkan sejak Jaman Renaisans dianggap telah mengalami kebuntuan (stagnasi). Dampak dari pemikiran ini tidak hanya berdampak pada bentuk seni tapi juga pada seluruh aspek dan tatanan kehidupan manusia.


Kontemporer merupakan hasil dari konsep pemikiran postmodern. Kurang lebih digunakan sebagai upaya untuk menganalisa spesies baru dalam aktifitas kreatif, karena dia sudah tidak bisa lagi diapresiasi sebagai bentuk seni modern, dianggap keluar dari batasan (konvensi) modernisme. Dalam beberapa perwujudannya, bentuk seni kontemporer masih ada keterkaitan dengan konsep serta gagasan dalam seni-seni modern sebelumnya, seperti lukis, patung, grafis, arsitektur, desain, dan sebagainya. Beberapa memilih medium baru dalam berkarya, seperti video art, seni instalasi, sound art, performance art, dan sebagainya. Karena itulah kemudian keilmuan yang berkembang dalam seni-seni kontemporer tidak hanya merujuk pada aspek kesejarahan (historis) tapi juga pada ilmu media (media studies), karena pemilihan dan penggunaan media sudah menjadi bagian dari gagasan komunikasi senimannya, tidak hanya sekedar cat minyak pada kanvas.


Berbeda dengan gagasan Avant Garde yang lebih radikal. Dia bisa secara langsung menyatakan resitensinya terhadap apapun, termasuk ‘anti-seni’. Pada dasarnya avant garde sendiri adalah sebuah pergerakan bukan sebagai genre atau kategorisasi, dia lebih dibaca sebagai isu yang terkadang bersifat politis.


Global VS. Lokal : Pluralitas Seni Rupa Kontemporer dan Tantangan Lokalitas Seni Tradisi. Persoalan ini selalu menjadi perdebatan yang romantik antara seni kontemporer dan seni tradisi, khususnya di Indonesia. Seni kontemporer selalu dianggap sebagai cikal bakal kehancuran seni tradisi, karena gelagatnya dianggap menampik seni tradisi. Apabila ditelisik dan diamati lebih cermat, apakah memang persoalan ini benar? Atau justru sebaliknya? Pada bagian ini saya tidak berupaya untuk berpihak pada keduanya, tapi ada gagasan pemikiran yang ingin coba diangkat melalui melalui kacamata yang lebih global.


Instrumen bedah yang digunakan dalam membaca seni tradisi dan kontemporer sudah sangat jelas memiliki perspektif yang berbeda dengan keilmuan yang berbeda pula, meskipun keduanya masuk ke dalam kategori aktivitas yang sama, seperti yang telah saya urai di awal tulisan ini mengenai persitilahan seni itu sendiri. Seni kontemporer berada pada wilayah pemikiran yang lebih global dengan mengedepankan pluralitas sebagai masyarakat dunia, sedangkan seni tradisi lebih menekankan pada local genious yang lebih spesifik pada karakteristik entitas tertentu, misal, ke-wilayah-an dan ke-suku-an. Terus, apakah gagasan dan konsep pemikiran dalam seni tradisi kemudian seolah diharamkan karena pemikiran kontemporer? Untuk menjawab ini mari kita simak kutipan berikut:


“Pluralitas seni rupa kontemporer menunjukkan dirinya dengan menerima setiap kemungkinan seni, baik dari segi pemikiran (teori), konsep, medium, material dan ruang kehadiran serta asal usul seniman”. (Asmudjo J. Irianto, http://indonesiaartnews.or.id/artikeldetil.php?id=48)


Dari sini, mungkin juga ada dalam pemikiran beberapa orang, pemikiran seni kontemporer justru akan memunculkan seni tradisi menjadi lebih besar. Karena pada dasarnya tema-tema yang diangkat dalam karya seni kontemporer sangat lokal, bahkan sangat personal, tidak semua merujuk pada persoalan-persoalan dalam wacana yang lebih besar seperti pada seni modern yang cenderung berada pada wilayah patronase bangsawan, raja, agama, atau kritik terhadap situasi sosial-politik.


Seni Rupa Kontemporer dan Siasat Medium. Memang tidak seluruh karya kontemporer mengacu pada persoalan medium, karena inti dari seni rupa kontemporer adalah mengenai penguraian gagasan seniman dan responnya terhadap fenomena sosial-budaya serta teknologi. Akan tetapi apabila melihat pada kecenderungan seperti ini kesadaran medium menjadi sangat penting, karena dalam beberapa hasil karya, medium tidak hanya sebagai material/ bahan baku karya, medium secara mandiri dianggap memiliki nilai komunikasinya sendiri (baik sebagai tanda maupun penanda) yang diolah menjadi metaforik, simbolik, fakta/ realitas, simulasi ruang dan waktu, kritik, propaganda, spiritual, dan sebagainya.


Membaca kembali pernyataan Asmudjo J. Irianto yang dikutip sebelumnya secara mudah dapat kita anggap bahwa ke-pluralan dalam seni kontemporer memungkinkan apapun menjadi seni dan siapapun menjadi seniman. Tentunya harus diimbangi dengan ke-piaway-an (bukan skill) dalam mengolah gagasan karyanya, baik pemikiran, konsep (gagasan), penggunaan medium, material dan ruang (presentasi).


Terbukanya segala kemungkinan peluang dalam karya seni kontemporer sekaligus menuntut senimannya menjadi lebih peka dan cermat dalam menyusun strategi kekaryaannya. Dari pengamatan inilah yang bisa menjelaskan lahirnya bentuk-bentuk (‘genre’) baru dalam perkembangan seni rupa kontemporer seperti video art, performance art, sound art, urban art, yang sebagian besar ditampilkan dalam pameran ini.


Kesadaran akan tanda-tanda yang diambil dari sebuah medium menjadi bagian dari siasat dalam aktivitas ekspresi artistik seniman ‘setelah Picasso’.

Batik Dalam Tantangan (Pos)modernisme

Apa yang pertama kali muncul dalam kepala kita ketika mendengar kata Batik? Tentu akan beragam pula jawabannya, tergantung latar belakang informasi yang dimilikinya, mungkin Canthing, Sejarah, Indonesia, Filsafat, Motif, dan seterusnya. Tapi bisa dipastikan sebagian besar yang akan terbayang adalah kain, baju, atau produk fashion lainnya. Terus, apakah Batik sendiri memang merujuk pada produk-produk tersebut? Tentunya pula untuk pada akademisi maupun para pelaku batik (seniman/ pembatik) tidak akan menjawab sebatas itu.


Pertanyaan ini yang kemudian muncul dalam benak saya ketika menghadiri Seminar Nasional yang bertemakan ‘Revitalisasi Batik dalam Masyarakat Modern’ yang digelar oleh Jurusan Seni Rupa dan Keluarga Mahasiswa Seni Rupa (KAMASRA) STSI-Bandung pada 25 Mei 2010 setelah dua orang pembicara Triwidodo, S.Sn, M.Hum selaku Akademisi Yogyakarta dan Alga Indria, S.Sn selaku praktisi dari Hasan Batik Bandung menjabarkan isi materinya mengenai Batik. Batik sebagai istilah merujuk pada hal apa? Teknik-kah? Atau Motif? Pertanyaan ini pula yang diajukan oleh peserta seminar ketika pertama kali ditawarkan.


Pembicara pertama yang diuraikan oleh Triwidodo, S.Sn, M.Hum lebih banyak menjelaskan aspek kesejarahan asal-usul Batik di Indonesia. Sedangkan pembicara kedua, yakni Alga Indria, S.Sn lebih banyak mengutarkan diskursus Batik dan tantangannya saat ini.


Penjelasan yang diutarakan oleh kedua pembicara memiliki penekanan yang berbeda terkait dengan misi yang ingin dicapainya terhadap tantangannya ke depan yang akan dihadapi oleh Batik itu sendiri. Pertama, lebih mengajak pada menjaga/ mengembalikan kaidah Batik pada tatanan tradisinya. Kedua, menuntut pada progres dan inovasi, tanpa harus mengorbankan nilai-nilai yang dimilikinya, karena setiap generasi akan memunculkan nilainya sendiri tanpa terlepas dari induknya.


Kembali pada pertanyan yang muncul di awal, menurut Triwidodo, S.Sn, M.Hum Batik adalah teknis, selama dia menggunakan malam/ lilin dalam tekniknya maka dia adalah Batik, terlepas dari medium yang dipakainya. Adapun ada kecenderungan seperti Batik sablon, dia adalah bukan Batik, akan tetapi lebih pada pengaplikasian gaya motif Batik dengan teknik cetak saring. Sedikit berbeda dengan penjelasan yang diurai oleh Alga Indria, S.Sn yang lebih menekankan pada aspek tatanan nilai, tidak hanya sebatas persoalan teknis.


Batik dalam Istilah

Lebih rinci dalam makalah yang disajikan oleh Triwidodo, S.Sn, M.Hum, Batik sebagai sebuah kata dicerap dari istilah Jawa yang berakhiran tik yang berarti kecil, seperti klitik (warung kecil), kitik (kutu kecil), dan seterusnya. Di Kalimantan, ada istilah pabatik yang diartikan memberi gambar pada tubuh manusia, di Minahasa kata mahapantik berarti menulis, di Filipina patik berarti menulis, di Papua kata bati memiliki arti yang sama dengan pabatik, di Jawa terdapat kata matik yang berakar dari istilah patik yang berarti memasang berlian pada emas, merujuk pada kegiatan/ aktivitas menggambar atau menghiasi. Perubahan pelafalan ‘P’ dan ‘B’ seringkali bertukar di beberapa daerah di Jawa.


Dalam bahasa Jawa, istilah ambatik sering dipadankan dengan anyeret yang berarti menulis atau menggambar serba rumit dan kecil-kecil. Kata Batik sendiri awalnya ditulis sebagai Bathik yang berarti sebuah proses panjang dari melukis motif hingga tahap akhir (babaran). Pada prosesnya, motif/ gambar ditulis dengan alat canthing pada medium kain dengan menggunakan malam/ lilin sebagai perintang yang nantinya akan menutupi sebagian mediun yang akan diwarnai melalui proses celup.


Batik Sebagai Metode dan Tatanan Nilai

Tradisi lokal sering kali luput dari diskursus ilmu pengetahuan di Indonesia, kepentingannya dikalahkan dengan ilmu logika yang datang dari luar, dan masih kita anut sekarang ini. Memang tidak ada yang salah dengan pola ini, hanya saja nilai-nilai dalam tradisi terlalu dianggap primitif dan tidak logis. Persoalan sebenarnya adalah karena kita tidak memiliki budaya mencatat seperti di Barat, kita lebih mengedepankan aspek spiritualitas dan bercerita, yang berujung pada anggapan sebagai mitos.


Apabila kita pelajari sedikit lebih jauh selangkah, maka akan ditemukan satu metode yang kaya akan pembelajaran dan pendidikan masyarakat yang terbungkus melalui konsep kesenian dan sastra yang penuh dengan simbol dan representasi realitas sosial. Mengutip dalam paparan Alga Indria, S.Sn, metode dan nilai dalam tradisi kita yang dibungkus dalam seni dan sastra tersebut memiliki tiga hierarkis pemahaman, pertama, Mentifact yang lebih menekankan pada aspek spiritualitas dan berada pada tingkatan pemahaman paling tinggi, kedua, Sosiofact sebagai penumbuhan mentalitas, ketiga artefact sebagai objek pengenalan (konseptual) untuk memahami nilai selanjutnya. Termasuk di dalamnya Batik.


Batik Keraton/ Pedalaman dan Batik Pesisir

Secara garis besar, karkteristik Batik terbagi ke dalam dua bagian utama, yakni Batik Keraton (pedalaman) dan Batik Pesisir. Kedua karakteristik ini bisa kita kenali dengan sangat jelas melalui bentuk motif dan warnanya. Batik Keraton/ pedalaman dulu dikenal sebagai Batik Larangan karena hanya dibuat dan dipakai oleh Sultan/ Raja dan kerabatnya, tentu dengan penggayaan motif yang secara spesifik saling membedakan satu sama lain sebagai penanda posisi hierarkisnya. Pola motifnya lebih rapat, hampir tidak ada ruang kosong, memiliki kecenderungan warna coklat. Disinyalir karakteristik ini hadir berdasarkan pada situasi alam yang berada di wilayah keraton yang lebih kaya pepohonan, dedaunan, dan warna tanah.


Berbeda dengan Batik pesisir yang memiliki variasi warna lebih banyak dan terang, begitupun dengan penggayaan motifnya lebih beragam. Menurut Alga Indria, S.Sn, karakteristik ini muncul karena kebutuhan niaga, karena lebih bebas dibanding Batik Larangan, motif, warna, dan teknik pun lebih inovatif dan berkembang. Industrialisasi Batik dimulai dari Batik Pesisir yang akhirnya menemukan konsep Batik Cap yang lebih modern secara teknis.


Tantangan: Batik Tradisi VS. Kontemporer

Tidak dapat dihindarkan bahwa saat ini tengah dihadapkan pada persoalan hak cipta dan trend, terkait dengan meningkatnya aktivitas pasar global dan media informasi serta teknologi yang saat ini terus meluap, seolah tak terbendung. Upaya-upaya revitalisasi Batik ini kemudian marak diperbincangkan, didaftarkan, dan melakukan inovasi-inovasi baru. Karena Batik identik dengan komoditi produk (artefak) , maka wilayah trend busana (fashion) cukup mendominasi proses revitalisasi ini, dengan harapan generasi muda tidak malu untuk memakainya.


Perkembangan inovasi batik tidak hanya sebatas fashion, disiplin keilmuan lain-pun (di luar seni) ikut melakukan risetnya, salah satu yang muncul adalah peangaplikasian ilmu Matematika dalam Batik Fraktal yang mengombinasikan konsep seni, sains, dan teknologi, dalam hal ini komputerisasi.


Fraktal sendiri berangkat dari teori Chaos yang membahas kesensitifan pada kondisi awal sebagai tanda keteraturan dalam kekacauan (chaos) dalam suatu sistem yang kompleks. Satu bentuk geometri baru yang mampu mengakomodasi konsep tentang kesamaan diri. Kehadiran fraktal dalam batik menunjukan adanya relasi sistem yang kompleks, hasil interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Dipicu melalui kesadaran manusia dalam memahami alam dan lingkungan dan kemudian menerjemahkannya dengan menggambar pada kain dengan teknik batik.


Bentuk inovasi lain yang dikembangkan adalah melalui kemungkinan visual/ motif melalui teknik batik seperti yang dilakukan oleh Asayani Batik. Batik sebagai sebuah teknik memberi peluang siapapun untuk menghadirkan visual/ motif tidak seperti biasanya. Pengembangan lain yang telah muncul adalah video game ‘Nitiki’, yang mencoba mengenalkan batik Indonesia pada khayalak umum melalui permainan berbasis digital yang dikembangkan oleh Chandra Tresnadi untuk tesis Pascasarjana-nya (2009).


Inovasi yang progresif ini seolah telah dianggap menggeser dan melupakan konsep-konsep Batik tradisi, dan ke-populerannya pun kalah jauh. Dalam pemikiran saya, justru peristiwa ini akan mengangkat lebih tinggi nilai-nilai tradisi, meskipun secara popularitas kalah. Bagaimana-pun, nilai-nilai orisinalitas tetap akan berada pada posisi yang dihargai dan penting. Mengutip ucapan Alga Indria, S.Sn, ‘kita harus mengambil hikmah dari batik dan tradisinya, selanjutnya apa?’ Pernyataan ini mengajak kita untuk melakukan langkah kongkrit dalam pengupayaan revitalisasi batik saat ini, tidak harus seniman, budayawan atau kriawan batik, seperti yang diungkap Alga, bahwa batik tidak sebatas estetika seni.

Tantangan utama dalam Batik tentunya tidak hanya sebatas persoalan komoditi, karena kalau revitalisasi terkonsentrasi pada hal tersebut yang akan terjadi adalah persaingan harga, tentunya selama ini selalu kalah dengan Cina dan India. Perlu adanya pengimbang lain sebagai bagian dari diskursus batik dalam wacana sains (ilmu pengetahuan), seperti kita semua ketahui bahwa Batik tidak hanya sekedar produk busana, tapi ada tatanan nilai, metode, dan sistem pendidikan yang kita semua bisa dengan mudah mempelajarinya untuk membangun mentalitas bangsa. Setidaknya ini salah satu harapan dalam Seminar Nasional ‘Revitalisasi Batik dalam Masyarakat Modern’ lalu.

Thursday, August 27, 2009

Seni, Keseharian, dan Ingatan Historis

Pameran Tunggal Andry Moch. (alm.)

DEER ANDRY



…seni bagi Yoko adalah gagasan,...medium bukan hal yang penting dan utama”. (A. Sudjud Dartanto: 2006)


Seni milik semua orang, biarkanlah mengalir, eksperimen. Semangat ini berkembang pada pergerakan seni Avant-Garde radikal di Jerman (DADA) yang merambah ke dataran Amerika (Fluxus) pada tahun 60-an. Dalam pola kekaryaanya, perilaku DADA yang menjadi dasar pergerakan Fluxus telah membiaskan, melawan, meruntuhkan batas-batas dan ruang-ruang yang dikonstruksi dalam seni modern yang cenderung ekslusif. Selanjutnya, gagasan-gagasan ini sebagian besar telah menjadi pola/ konsepsi kekaryaan Andry Moch.


Catatan-catatan penting dalam membaca karya Andry Moch. adalah Warhol, Basquiat, Kristo dan Fluxus. Keempat pergerakan seni tersebut mengantar Andry pada pemahaman seni dan lokalitas keseharian. Wujud seni yang sebenarnya ada di dalam pikiran setiap manusia dan hadir disepanjang perjalanan hidup manusia. Seni berwujud di dalam ingatan. Apa yang tampak hanyalah sebuah artefak yang menandainya sebagai sebuah perwujudan karya seni. Dari catatan-catatan inilah yang mengantar Andry pada makna rumah, kembali ke rumah.


Bagi saya, rumah adalah museum pertama yang menyimpan berbagai artefak setiap individu di dalam melakukan aktivitasnya”. (Andry Moch., 2004)


Rumah bagi Andry menyisakan ingatan-ingatan tentang keakraban, kehangatan, kasih sayang, perlindungan, tempat mengadu, bersembunyi, romantisme masa kecil, dan sebagainya.


DEER ANDRY

DEER ANDRY merupakan gagasan terakhir Andry Moch. dalam karir kesenimananya. Sepeninggalnya Andry (1 Mei 2008), rencana pameran tunggalnya ini tidak sempat terealisasikan oleh tangannya sendiri. DEER ANDRY merupakan satu tema analogi yang dirancang oleh kawan-kawan terdekatnya Andry untuk mengemas pameran ini. Bunyi vokal DEER (rusa) sepadan dengan bunyi vokal DEAR (yang terhormat/ yang tercinta).


Pameran ini berlangsung di Galeri S.14, jalan Sosiologi 14 Cigadung-Bandung, dari tanggal 28 Desember 2008 sampai 25 Januari 2009.


Di dalam ruangan galeri yang berkisar 3 x 3 meter tersebut, terpajang satu buah patung boneka rusa keramik berwarna putih dikelilingi dengan kurang lebih 150 karya seni rupa dua dimensi berukuran 20 x 20 cm dan 16 x 20 cm yang terkumpul dari 150 kawan terdekat Andry.


Gagasan pameran tunggal ini merupakan sebuah reaksi Andry terhadap niatan Herra untuk membuka ruang pamer di rumahnya (S.14). Data terakhir yang saya dapat sebagai acuan dalam tulisan ini adalah tentang percakapan terakhir mereka saat menggagas rencana pameran tunggalnya di S.14.


Mau cetak boneka binatang plastik menjadi keramik...membuat instalasi keramik dan lukisan”, itulah yang diutarakan Andry Moch. “Lukisan?” Saat itu Herra menyangka Andry akan membuat lukisan besar supaya bisa terjual. Maklum, saat itu para seniman mulai berbondong-bondong untuk menjadi pelukis. “Justru enggak, pengennya lukisannya kecil-kecil, gambar binatang-binatang”. Sebuah instalasi yang terdiri dari lukisan kecil-kecil yang mengelilingi patung keramik yang akan dibuatnya nanti.


Saat merancang pamerannya, Andry tidak mengungkapkan secara langsung binatang apa yang akan dia buat. Pengambilan Rusa sebagai wujud dari karyanya diambil dari rancangan (sketsa) terakhirnya berkaitan dengan rencana pameran ini. Karena masih dalam tahap sketsa, tidak ada alasan khusus yang terungkap kenapa Andry menggambar Rusa sebagai objek dan subjek dalam rancangan karyanya.


Apabila saya runut, rusa sebagai objek pernah dia tampilkan dalam Go Home Project di GaleriKita tahun 2004. Ada kemungkinan, Andry meneruskan konsep kembali ke rumah dalam pameran tunggalnya ini.


Rusa merupakan simbol yang diasosiasikan dengan Timur/ Ketimuran (east), Fajar/ Dini Hari (dawn), Cahaya (light), Kemurnian/ Kesucian (purity), Regenerasi (regeneration), Kreatifitas (creativity), dan Spiritualitas (spiritulity). Bentuk-bentuk representasi simbol rusa ini bisa kita temui pada kisah dalam film kartun Bembi yang merepresentasikan regenerasi, dalam kisah Harry Potter: The Prisoner of Azkaban rusa telah menjadi kekuatan (cahaya) dalam mengusir kegelapan (Dementor), dalam serial komik Jepang One Piece karakter Rusa merupakan seorang sosok dokter (dalam beberapa referensi, rusa merupakan simbol dari kekuatan penyembuhan), dalam mitos ras Elf ada seorang dukun (Druids) bermahkota kepala rusa yang merepresentasikan kesucian dan spiritualitas.


Kita, dan mungkin Andry yang telah memiliki dan mengonsumsi kisah-kisah tersebut dan menjadikan rusa menjadi satu referensi simbol pembentuk ingatan yang dirangkainya ke dalam dialektika peristiwa-peristiwa personal.


Secara garis besar, terkait dengan Go Home Project, Andry telah bermain-main di wilayah ini, menjadikan objek-objek keseharian sebagai pemantik ingatan-ingatan dalam membaca serta membentuk sejarah dan kisah-kisah, yang secara tidak sadar kita telah dibentuk olehnya. Rusa hanyalah salah satu bagian dari pengalaman simbolik yang ingin dia bagi dari apa yang dia pahami tentang kembali ke rumah (go home). Hal-hal yang secara simbolis terhubung dengan masa sekarang sangat mungkin telah dipersatukan oleh konseptual dan identitas linguistik. Relasi simbolik telah menyisakan ingatan-ingatan historis yang dipresentasikan melalui objek-objek yang berada di sekeliling kita.

Ps:Tulisan ini ditulis dalam rangka pameran tunggal Andry Moch. (alm) Galeri S-14 Jalan Sosiologi No.14 Bandung, Tanggal 8 Desember 2008-25 Januari 2009. Judul Pameran: DEER ANDRY, a solo exhibition realized by his closed friends. Dimuat di Khazanah-Pikiran Rakyat 7 Februari 2009.

Kegilaan Virtual: Perayaan Multi-Identitas

Dida Ibrahim

April 2009



...Of this virtual insanity, we're livin in. Has got to change...(yeah)...Things, will never be the same. And I can't go on While we're livin' in (oh)...(oh) virtual insanity (Oh)...this world, has got to change Cos I just, I just can't keep going on, it was virtual. Virtual insanity that we're livin' in, that we're livin' in That virtual insanity is what it is....” (Jamiroquai: Virtual Insanity, 1996)


Fenomena teknologi digital saat ini telah memasuki tahap yang sangat signifikan berpengaruh di lingkungan masyarakat Indonesia. Dalam analisis Alvin Toffler, setiap jenis teknologi melahirkan lingkungan teknologi (teknosfer) yang khas. Teknologi informasi, sebagai bagian dari teknosfer akan mewarnai budaya pertukaran informasi di antara warga masyarakat (infosfer). Pada giliranya, infosfer akan membentuk dan merubah norma-norma sosial, pola interaksi, dan organisasi kemasyarakatan (sosiosfer). Sebagai makhluk sosial, perubahan sosiosfer pada manusia akan terlihat pada perubahan cara berfikir, cara merasa, dan cara berperilaku (psikosfer). Dalam perubahan persepsi oleh media (dissolution) yang riil dan yang imajiner terus menerus melebur satu sama lain, ‘melampaui realitas’ (hyperealism).


Pada pandangan Idi Subandy dalam membaca studi komunikasi Fiske; “secondary representations of reality; they affect and produce the reality that they mediate” (viii:1990). Di dalam ‘realitas kedua’ itu manusia hidup dalam gelimang citra, bahkan antara citra dan tatanan pengalaman pun sudah tidak ada lagi perbedaanya. Sebagai bagian dari wacana komunikasi, pemaknaan citra menjadi premis yang sangat mendasar. Citra menekankan pada konsep-konsep representasi dan persepsi. Perlahan-lahan kita dihadapkan pada kenyataan bahwa isi media tersebut mempengaruhi struktur kognitif dan afektif kita.


Melalui kedua pandangan Tovler dan Idi Subandy, penemuan teknologi baru (dalam hal ini sistem digital) tidak hanya merubah cara berkomunikasi, faktanya teknologi tersebut telah menciptakan konsep-konsep budaya baru yang menggantikan budaya-budaya lokal (etnocide), mengajarkan agama baru, teknokrasi, mekanisasi, birokrasi, dan globalisasi. Puncaknya, dia telah menciptakan realitas-realitas baru (paralel), peran-peran serta identitas yang bisa kita pilih secara acak (multitasking dan memasilitasi alter ego).


Penemuan komputer dan perangkat sistem yang ada di dalamnya telah membawa manusia pada kesadaran baru, kesadaran tanpa batas, apapun bisa dilakukan melalui media ini. Kesadaran ini tentunya membawa manusia pada perubahan yang sangat drastis, terkadang problematis dan polemik. Perubahan ini tidak hanya membawa perubahan pada dunia sains dan teknologi, peristiwa ini berpengaruh pula pada setiap substansi sosial dan budaya manusia secara menyeluruh, mulai dari pola pikir sampai gaya hidup.

Kemampuan teknologi ini bersama konsep AI (Artificial intelligent)-nya telah membawa kita untuk menelaah kembali pemaknaan ‘realitas’. Pemaknaan realitas saat ini telah dibiaskan oleh/ melalui media, realitas artifisial telah mematerialkan ranah imaji. Pada titik tertentu realitas dikonstruksi sedemikian rupa menjadi bentuk realitas virtual (virtual reality), ranah ke-aku-an dikomodifikasi menjadi citraan identitas, karakter, lingkungan, budaya, dan konvensi sosial yang lain.


Meskipun memiliki fakta fisik yang berbeda, cyberspace merupakan bahasa lain dari realitas virtual yang dikenalkan oleh Myron Krueger. Cyberspace dalam hal ini merupakan fenomena non-material, tidak memiliki sifat-sifat fisikal, akan tetapi ia adalah ruang yang ‘ada’, kita bisa ‘hadir’, merasakan dan mengalami kehidupan yang ada di dalamnya. Ruang dalam konsep cyberspace diciptakan melalui sistem eletrik dan sistem kode matematika biner Hoofman (konsep dasar yang membangun sistem digital).


“Cybernetic...sebuah wilayah yang berada di dalam ranah pemikiran kontemporer mengenai teknologi komputer dan kemasyarakatan”. (Katie Salen & eric Zimmerman: 2004)


Cyberspace merupakan dunia yang hypereal yang terbentuk dari realitas virtual, sebuah ‘ruang halusinasi’ yang tercipta dari sistem data di dalam komputer yang saling tersambung di dalam sebuah jaringan berskala global. Ia adalah sebuah dunia yang tidak faktual, akan tetapi mendekati dunia nyata (aktual).


Dalam cyberspace, setiap orang merupakan persona yang memiliki perasaan menavigasi atau berkuasa (sense of power), membebaskan manusia dari segala macam kungkungan kekuasaan dan otoritas, memiliki kebebasan yang cukup besar dalam mengekspresikan dirinya secara maksimal. Cyberspace menyediakan ruang yang di dalamnya memiliki orientasi ekspresi secara bebas, tanpa dibatasi dan dikendalikan oleh otoritas kekuasaan ‘apapun’.


Realitas dalam dunia digital membiaskan perbedaan antara objek representasi dan realitasnya. Sistem interaktifitas mencairkan dan menggantikan pengalaman dunia realitas yang nyata dengan pengalaman virtual, keterlibatan penggunanya secara tidak sadar menyatukan batas dan jarak dua realitas tersebut, pada ujungnya, tidak ada lagi batas antara yang nyata dan tak nyata. Dunia virtual dianggap telah memiliki realitas dan sistem budayanya sendiri, yang dipresentasikan melalui citraan grafis (graphic image), citra optikal (optical image), citra perseptual (perceptual image), citra mental (mental image), citra verbal (verbal image). Citraan yang ‘terbingkai’ ini menjadikan dia memiliki realitasnya sendiri.


Entitas yang berada di dalamnya tak hanya sebatas citraan simbolis. Pembentukan peran dalam dunia virtual membawa kita dalam pemahaman yang lebih luas. Di dalamnya terkonstruksi satu konsep budaya yang overlap antara dunia artifisial dengan ruang fisik, serta gaya hidup para pemainya, mengaburkan realitas wilayah pengguna dan non-pengguna, terkadang bisa ‘menarik’ budaya partisipan penggunanya. Yang menjadi poin penting di sini adalah, dunia digital telah mengangkat pertanyaan yang fundamental mengenai dunia artifisial dan hubunganya dengan realitas.


Dalam dialog Morpheus (M) dan Neo (N) dalam film The Matrix I (1999) terungkap pemahaman lain tentang makna ‘realitas’.


M : These is the construct. It’s our loading program. We can load anything, from clothing, equipment, weapons, training simulation, anything we need.

N : Right now we’re inside the computer program?

M : Is it really so hard to belive? Your cloth are different. The plugs in your arms and head are gone. Your hear’s change. Your appearance now is what we call ‘Residual Self Images’... is the mental projection of digital self.

N : These...isn’t real?

M : What is ‘real’? How do you define ‘real’? If you talking about what you can feel...what you can smell...what you can taste and see. Than real is simply an electrical signal that interpreted by your brain.

….

M : What exist now’s only part of the world of neural interactive simulation... that we call the matrix.

Penginterpretasian radikal dalam film tersebut tentang realitas telah memberi batasan dan keterangan yang sangat jelas berkenaan dengan kemampuan realitas simulasi dalam menyihir persepsi manusia. Manusia seperti terjebak dalam kesadaran mati-rasa fisis (anesthesia awarness).


Dalam bentuk representasi simulasi, realitas direproduksi, dikonstruksi, dimanipulasi, sehingga melahirkan realitas yang baru. Dalam persoalan ini Yasraf A. Piliang menyebutnya sebagai satu bentuk proses penciptaan model-model realitas yang tanpa asal-usul, realitas yang hadir bukan lagi representasi realitas sebenarnya, sudah menjadi realitas yang baru yang referensinya adalah realitasnya sendiri (simulakrum of simulakrum). Simulakra diartikan sebagai; (1) sesuatu yang tampak atau dibuat tampak seperti sesuatu yang lain, (2) salinan (copy).


Ideologi yang berkembang dalam dunia virtual mentransformasi individu menjadi subjek dengan menawarkan mereka pada posisi. Melalui ruang budaya yang dihadirkan dalam frame layar, setiap individu dapat mengaitkan kehidupan mereka dengan kondisi eksistensinya dalam realitas kehidupan sebagai presentasi sublimasi yang bersifat referensional. Dia menjadi instrumen makna dan ide, memberi posisi dan mereproduksi pemaknaan individu atas realitas sosialnya sebagai pernyataan sikap partisipasi.


Realitas artifisial, realitas virtual, realitas simulasi, maupun cyberspace memiliki konsep yang sama, dia tidak faktual tapi aktual. Dia tidak memiliki ruang fisik yang kita pahami di dalam hukum fisika, tapi dia adalah ruang yang ada dan memberi tempat bagi kita untuk berada di dalamnya. Hal ini merupakan poin yang sangat penting dalam menyaksikan adanya ketergeseran bentuk-bentuk dan pola sosial yang kita kenali selama ini.


Keberadaan realitas-realitas ini telah memberikan ruang kepada setiap penggunanya untuk berperan sebagai ‘sang lain’, mendapatkan relasi dan penyapaian-penyapaian sosial yang tidak dia dapatkan di dalam realitasnya. Dari pernyataan ini kita bisa melihat satu alasan ketertarikan setiap penggunanya untuk terus masuk ke dalam realitas artifisial tersebut, memenuhi hasrat yang tidak terpenuhi di dalam realitasnya. Memaknai kembali identitas, eksistensi, dan realitasnya.


Aturan dalam sebuah interaktifitas telah menghadirkan ruang formal yang sangat mendasar. Setiap proses interaktif menciptakan tiga jenis aturan: constituative, operational, dan implicit. Aturan constituative mengarah pada logika, struktur matematis yang membatasi setiap ruang komunikasi. Aturan operasional lebih praksis, ‘rules of play’ yang langsung ditujukan pada aksi patisipasi. Aturan implicit merupakan aturan yang tidak tertulis yang membawa para pengguna pada alur interaktifnya, hal ini hadir dari pemaknaan ‘rules of play’ sebagai bagian dari sistem persepsi dan asumsi manusia.


Dunia digital seolah menyediakan tubuh representatif terhadap ranah ke-aku-an. Secara visual, penokohan peran dibentuk sebagai sosok yang bergelimang citraan, sesuai dengan peranannya dalam cerita yang terbangun di dalamnya. Ranah ke-aku-an dikonstruksi sebagai karakter yang terbangun dalam realitas simulasi. Peran yang hadir dalam dunia digital telah membuka ruang-ruang hasrat menjadi sang lain (alter ego) di luar realitas dirinya (persona). Eksistensinya dipresentasikan melalui persepsi citra tubuh. Tubuh representatif dalam game digital mengidentifikasi siapa aku (persona).


tubuh adalah diri, dan diri adalah tubuh” (Anthony Synnott: 49, 1993)


Dalam konstruksi pemikiran Lacan mengenai psikoanalisis, Aku (sebagai sebuah identitas) dan realitas merupakan dua konsep yang terpisah, karena yang real bagi aku adalah sebuah hasrat, hasrat untuk ‘me-‘ (me-nguasai, me-njadi, me-miliki). Memikirkan yang real berarti berhadapan dengan misteri eksistensi itu sendiri (Lucky Ginanjar Adhipurna: 123, 2006). Ketika hasrat disadari sebagai hal yang terkait dengan eksistensi, maka ‘aku’ akan menjadi satu entitas yang real.