Friday, June 4, 2010

Batik Dalam Tantangan (Pos)modernisme

Apa yang pertama kali muncul dalam kepala kita ketika mendengar kata Batik? Tentu akan beragam pula jawabannya, tergantung latar belakang informasi yang dimilikinya, mungkin Canthing, Sejarah, Indonesia, Filsafat, Motif, dan seterusnya. Tapi bisa dipastikan sebagian besar yang akan terbayang adalah kain, baju, atau produk fashion lainnya. Terus, apakah Batik sendiri memang merujuk pada produk-produk tersebut? Tentunya pula untuk pada akademisi maupun para pelaku batik (seniman/ pembatik) tidak akan menjawab sebatas itu.


Pertanyaan ini yang kemudian muncul dalam benak saya ketika menghadiri Seminar Nasional yang bertemakan ‘Revitalisasi Batik dalam Masyarakat Modern’ yang digelar oleh Jurusan Seni Rupa dan Keluarga Mahasiswa Seni Rupa (KAMASRA) STSI-Bandung pada 25 Mei 2010 setelah dua orang pembicara Triwidodo, S.Sn, M.Hum selaku Akademisi Yogyakarta dan Alga Indria, S.Sn selaku praktisi dari Hasan Batik Bandung menjabarkan isi materinya mengenai Batik. Batik sebagai istilah merujuk pada hal apa? Teknik-kah? Atau Motif? Pertanyaan ini pula yang diajukan oleh peserta seminar ketika pertama kali ditawarkan.


Pembicara pertama yang diuraikan oleh Triwidodo, S.Sn, M.Hum lebih banyak menjelaskan aspek kesejarahan asal-usul Batik di Indonesia. Sedangkan pembicara kedua, yakni Alga Indria, S.Sn lebih banyak mengutarkan diskursus Batik dan tantangannya saat ini.


Penjelasan yang diutarakan oleh kedua pembicara memiliki penekanan yang berbeda terkait dengan misi yang ingin dicapainya terhadap tantangannya ke depan yang akan dihadapi oleh Batik itu sendiri. Pertama, lebih mengajak pada menjaga/ mengembalikan kaidah Batik pada tatanan tradisinya. Kedua, menuntut pada progres dan inovasi, tanpa harus mengorbankan nilai-nilai yang dimilikinya, karena setiap generasi akan memunculkan nilainya sendiri tanpa terlepas dari induknya.


Kembali pada pertanyan yang muncul di awal, menurut Triwidodo, S.Sn, M.Hum Batik adalah teknis, selama dia menggunakan malam/ lilin dalam tekniknya maka dia adalah Batik, terlepas dari medium yang dipakainya. Adapun ada kecenderungan seperti Batik sablon, dia adalah bukan Batik, akan tetapi lebih pada pengaplikasian gaya motif Batik dengan teknik cetak saring. Sedikit berbeda dengan penjelasan yang diurai oleh Alga Indria, S.Sn yang lebih menekankan pada aspek tatanan nilai, tidak hanya sebatas persoalan teknis.


Batik dalam Istilah

Lebih rinci dalam makalah yang disajikan oleh Triwidodo, S.Sn, M.Hum, Batik sebagai sebuah kata dicerap dari istilah Jawa yang berakhiran tik yang berarti kecil, seperti klitik (warung kecil), kitik (kutu kecil), dan seterusnya. Di Kalimantan, ada istilah pabatik yang diartikan memberi gambar pada tubuh manusia, di Minahasa kata mahapantik berarti menulis, di Filipina patik berarti menulis, di Papua kata bati memiliki arti yang sama dengan pabatik, di Jawa terdapat kata matik yang berakar dari istilah patik yang berarti memasang berlian pada emas, merujuk pada kegiatan/ aktivitas menggambar atau menghiasi. Perubahan pelafalan ‘P’ dan ‘B’ seringkali bertukar di beberapa daerah di Jawa.


Dalam bahasa Jawa, istilah ambatik sering dipadankan dengan anyeret yang berarti menulis atau menggambar serba rumit dan kecil-kecil. Kata Batik sendiri awalnya ditulis sebagai Bathik yang berarti sebuah proses panjang dari melukis motif hingga tahap akhir (babaran). Pada prosesnya, motif/ gambar ditulis dengan alat canthing pada medium kain dengan menggunakan malam/ lilin sebagai perintang yang nantinya akan menutupi sebagian mediun yang akan diwarnai melalui proses celup.


Batik Sebagai Metode dan Tatanan Nilai

Tradisi lokal sering kali luput dari diskursus ilmu pengetahuan di Indonesia, kepentingannya dikalahkan dengan ilmu logika yang datang dari luar, dan masih kita anut sekarang ini. Memang tidak ada yang salah dengan pola ini, hanya saja nilai-nilai dalam tradisi terlalu dianggap primitif dan tidak logis. Persoalan sebenarnya adalah karena kita tidak memiliki budaya mencatat seperti di Barat, kita lebih mengedepankan aspek spiritualitas dan bercerita, yang berujung pada anggapan sebagai mitos.


Apabila kita pelajari sedikit lebih jauh selangkah, maka akan ditemukan satu metode yang kaya akan pembelajaran dan pendidikan masyarakat yang terbungkus melalui konsep kesenian dan sastra yang penuh dengan simbol dan representasi realitas sosial. Mengutip dalam paparan Alga Indria, S.Sn, metode dan nilai dalam tradisi kita yang dibungkus dalam seni dan sastra tersebut memiliki tiga hierarkis pemahaman, pertama, Mentifact yang lebih menekankan pada aspek spiritualitas dan berada pada tingkatan pemahaman paling tinggi, kedua, Sosiofact sebagai penumbuhan mentalitas, ketiga artefact sebagai objek pengenalan (konseptual) untuk memahami nilai selanjutnya. Termasuk di dalamnya Batik.


Batik Keraton/ Pedalaman dan Batik Pesisir

Secara garis besar, karkteristik Batik terbagi ke dalam dua bagian utama, yakni Batik Keraton (pedalaman) dan Batik Pesisir. Kedua karakteristik ini bisa kita kenali dengan sangat jelas melalui bentuk motif dan warnanya. Batik Keraton/ pedalaman dulu dikenal sebagai Batik Larangan karena hanya dibuat dan dipakai oleh Sultan/ Raja dan kerabatnya, tentu dengan penggayaan motif yang secara spesifik saling membedakan satu sama lain sebagai penanda posisi hierarkisnya. Pola motifnya lebih rapat, hampir tidak ada ruang kosong, memiliki kecenderungan warna coklat. Disinyalir karakteristik ini hadir berdasarkan pada situasi alam yang berada di wilayah keraton yang lebih kaya pepohonan, dedaunan, dan warna tanah.


Berbeda dengan Batik pesisir yang memiliki variasi warna lebih banyak dan terang, begitupun dengan penggayaan motifnya lebih beragam. Menurut Alga Indria, S.Sn, karakteristik ini muncul karena kebutuhan niaga, karena lebih bebas dibanding Batik Larangan, motif, warna, dan teknik pun lebih inovatif dan berkembang. Industrialisasi Batik dimulai dari Batik Pesisir yang akhirnya menemukan konsep Batik Cap yang lebih modern secara teknis.


Tantangan: Batik Tradisi VS. Kontemporer

Tidak dapat dihindarkan bahwa saat ini tengah dihadapkan pada persoalan hak cipta dan trend, terkait dengan meningkatnya aktivitas pasar global dan media informasi serta teknologi yang saat ini terus meluap, seolah tak terbendung. Upaya-upaya revitalisasi Batik ini kemudian marak diperbincangkan, didaftarkan, dan melakukan inovasi-inovasi baru. Karena Batik identik dengan komoditi produk (artefak) , maka wilayah trend busana (fashion) cukup mendominasi proses revitalisasi ini, dengan harapan generasi muda tidak malu untuk memakainya.


Perkembangan inovasi batik tidak hanya sebatas fashion, disiplin keilmuan lain-pun (di luar seni) ikut melakukan risetnya, salah satu yang muncul adalah peangaplikasian ilmu Matematika dalam Batik Fraktal yang mengombinasikan konsep seni, sains, dan teknologi, dalam hal ini komputerisasi.


Fraktal sendiri berangkat dari teori Chaos yang membahas kesensitifan pada kondisi awal sebagai tanda keteraturan dalam kekacauan (chaos) dalam suatu sistem yang kompleks. Satu bentuk geometri baru yang mampu mengakomodasi konsep tentang kesamaan diri. Kehadiran fraktal dalam batik menunjukan adanya relasi sistem yang kompleks, hasil interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Dipicu melalui kesadaran manusia dalam memahami alam dan lingkungan dan kemudian menerjemahkannya dengan menggambar pada kain dengan teknik batik.


Bentuk inovasi lain yang dikembangkan adalah melalui kemungkinan visual/ motif melalui teknik batik seperti yang dilakukan oleh Asayani Batik. Batik sebagai sebuah teknik memberi peluang siapapun untuk menghadirkan visual/ motif tidak seperti biasanya. Pengembangan lain yang telah muncul adalah video game ‘Nitiki’, yang mencoba mengenalkan batik Indonesia pada khayalak umum melalui permainan berbasis digital yang dikembangkan oleh Chandra Tresnadi untuk tesis Pascasarjana-nya (2009).


Inovasi yang progresif ini seolah telah dianggap menggeser dan melupakan konsep-konsep Batik tradisi, dan ke-populerannya pun kalah jauh. Dalam pemikiran saya, justru peristiwa ini akan mengangkat lebih tinggi nilai-nilai tradisi, meskipun secara popularitas kalah. Bagaimana-pun, nilai-nilai orisinalitas tetap akan berada pada posisi yang dihargai dan penting. Mengutip ucapan Alga Indria, S.Sn, ‘kita harus mengambil hikmah dari batik dan tradisinya, selanjutnya apa?’ Pernyataan ini mengajak kita untuk melakukan langkah kongkrit dalam pengupayaan revitalisasi batik saat ini, tidak harus seniman, budayawan atau kriawan batik, seperti yang diungkap Alga, bahwa batik tidak sebatas estetika seni.

Tantangan utama dalam Batik tentunya tidak hanya sebatas persoalan komoditi, karena kalau revitalisasi terkonsentrasi pada hal tersebut yang akan terjadi adalah persaingan harga, tentunya selama ini selalu kalah dengan Cina dan India. Perlu adanya pengimbang lain sebagai bagian dari diskursus batik dalam wacana sains (ilmu pengetahuan), seperti kita semua ketahui bahwa Batik tidak hanya sekedar produk busana, tapi ada tatanan nilai, metode, dan sistem pendidikan yang kita semua bisa dengan mudah mempelajarinya untuk membangun mentalitas bangsa. Setidaknya ini salah satu harapan dalam Seminar Nasional ‘Revitalisasi Batik dalam Masyarakat Modern’ lalu.

No comments:

Post a Comment